Suap/Risywah
*SUAP / RISYWAH*
Pada tanggal 10 Juli 2019 lalu lembaga anti rasuah melakukan OTT terhadap salah 1 Pejabat provinsi di Sumatera, menetapkannya diduga sebagai PEMBERI Suap dan Gratifkasi, disangkakan karena melanggar Ps. 12 huruf a atau b atau Ps. 11 dan Ps. 12 huruf b UU 31/1999-UU 20/2001 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Ps. 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan si PEMBERI disangkakan karena melanggar Ps. 5 ayat (1) huruf a atau b UU 31/1999-UU 20/2001 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Ps. 55 ayat (1) ke-1 KUHP..
Praktik Suap menjadi salah satu fenomena menarik dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap pejabat publik terkait usaha reformasi aparatur negara. Praktik suap seolah sudah masuk semua lini, bukan hanya menimpa pejabat tinggi melainkan termasuk juga aparatur pemerintah di level bawah sekalipun ada kecenderungan/terindikasi akrab dengan praktik ini.
Suap mengandung banyak unsur kezaliman seperti ; mengambil hak orang lain, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan bisa mempengaruhi keputusan penguasa yang merugikan pihak lain. LALU, bagaimana jika seseorang sebenarnya tidak ingin memberi suap tetapi tetap dilakukan karena terpaksa? Dapatkah kemudian dalam pandangan ulama yang membolehkan memberi sesuatu kepada orang yang berkuasa dengan beberapa syarat?.
Salah seorang ustadz kondang pernah memberikan pandangannya dalam pengajiannya tentang praktik suap (Risywah) yang diperbolehkan dalam Islam. Menurutnya, praktik sogok atau suap diperbolehkan dalam Islam jika dan hanya jika seseorang tersebut telah memenuhi syarat tertentu, namun tetap ada pemaksaan (secara sistem atau oknum) untuk melakukan sogok. Ia mencontohkan, salah 1 nya terkait sistem rekrutmen PNS, di mana orang boleh saja menyogok kalau itu sebuah keharusan, yang penting orang tersebut memenuhi prasyarat sebagai PNS. Contoh lain disebutkannya, adalah ketika barang kita dicuri, lalu bila kita membayar kepada pencuri itu agar barang kita dapat kembali, maka hal itu diperbolehkan dalam Islam.
Dikutip dlm artikel media Republika.co.id (edisi 22 Apr 2016), disebutkan bahwa :
Pada dasarnya suap itu masuk dalam kategori Risywah. Praktik risywah jelas sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu." (QS an-Nisa' [4]:29).
MUI DKI Jakarta dalam salah satu poin fatwanya pada 25 April 2000 menyebutkan jika ada suap yang diperbolehkan. Klausul ini hanya diperuntukkan bagi yang memberi, bukan yang menerima :
Jika seseorang melakukan suap karena terpaksa untuk membela, mempertahankan, atau merebut hak, menurut MUI DKI Jakarta, hal itu diperbolehkan. Namun, bagi penerima, suap tersebut tetaplah haram. Bagi pemberi diperbolehkan karena jika tidak memberikan suap (risywah), dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu.
Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap. Berbagai cara sudah dilakukan agar suap tersebut tidak dilakukan. Sementara, kebutuhannya sangat mendesak. Maka bagi pemberi suap seperti ini tak masalah. Namun, bagi penerima, tetaplah ia masuk kategori risywah.
Ustaz Bachtiar, juga mengamini jika ada sedikit pengecualian bagi seseorang yang melakukan suap dengan jalan amat terpaksa. Menurutnya, jumhur ulama memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.
Sebagai umat Islam yang menjadikan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW sebagai pegangan hidup kita, tentunya kita selalu mengembalikan segala sesuatu kepada keduanya agar hidup kita selamat di dunia dan di akhirat. Bukan sebaliknya, mengacu pada pendapat orang bertentangan dengan keduanya. Selama pendapat para ulama itu ada dalilnya dan tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah, kita boleh mengikutinya, tapi sebaliknya, jika bertentangan, kita tidak boleh mengikutinya. Para ulama Islam juga selalu menegaskan bahwa umat Islam harus selalu berpegangan kepada Alquran dan Sunah. Sebagaimana Imam Syafii mengatakan, “Jika suatu hadis itu sahih, itulah mazhabku.”
Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang, pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Sementara, jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kedaruratan tersebut tidak berarti boleh terus-menerus dilakukan. Jika pekerjaan tersebut membuat terus-menerus harus menyogok, sifat keterpaksaannya menjadi hilang. Hukumnya pun menjadi hukum asal risywah baik pemberi maupun penerima mendapat dosa besar.
Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Nawawi dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin. Menurutnya, jika orang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realitas, memberi suap hukumnya haram. Sedangkan, suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan (Oleh Hafidz Muftisany).
Disamping pula dalam tataran kajian akademis, misalnya ulasan yang dikemukakan Evi Sukmayeti (dosen tetap STIA Mataram), menyatakan dalam artikelnya :
Konteks filsafati terhadap nilai berbicara tentang baik dan buruknya sesuatu dalam kehidupan manusia. Administrasi Publik sebagai praktek merupakan ilmu yang lahir dari ilmu filsafat. Oleh karenanya ilmu filasafat mewarnai konteks administrasi publik. Sebagaimana dikutip dari pandangan Thomas Aquinas yang mengutip pandangan Aristoteles menyebutkan, bahwaTuhan sebagai penyebab final (causa prima), Tuhan adalah sumber kebenaran utama. Oleh karenanya etika filsafati dibangun atas nilai-nilai agama.
Etika Administrasi Publik dengan demikian memiliki kontribusi yang berasal dari nilai-nilai agama.Sejumlah riset dan kajian akademis memaparkan mengenai fenomena suap secara terpisah menggunakan perspektif hukum normatif di satu sisi dan filsafat hukumIslam di sisi yang lain. Kajian akademis yang menggunakan perspektif hukum normatif menemukan bahwa suap mampu menekan keputusan pejabat publik. Bahkan suap bisa memanipulasi keputusan seseorang yang tidak memiliki kekuasaan sekalipun, namun memiliki sejumlah sumberdaya yang dibutuhkan oleh mereka yang memiliki kepentingan politik. Penelitian-penelitian ini lebih jauh menunjukkan sejumlah aturan mengenai suap. Sementara itu kajian filsafat Islam mengenai suap, mendiskusikan tentang sumber Al Qur’an dan Al Hadits yang membedakan antara hadiah dan suap.
Penelitian dan kajian akademik tersebut secara terpisah memperlihatkan perbedaan perspektif terhadap suap. Tetapi pandangan filsafat Islam menjelaskan secara komprehensif bahwa hadiah dan Risywah berbeda dikarenakan adanya konteks jabatan.
Jadi, pilihan politik hukum bagaimna kah yang harus kita ambil sebagai pedoman kedepannya dalam menghadapi fenomena praktik Suap?. Perlukah dilakukan upaya pmbaharuan terhadap sistem hkum pidana terhadap tindak pidana Suap?. Kiranya perlu ada pemikiran progresif yang BERANI mereformulasikan sebuah kebijakan dalam menjawab tantangan fenomena itu kedepannya, agar tujuan pembentukan hukum utk mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan dapat terpenuhi secara lebih optimal..
Wallahu a'lam bishawab..
Pada tanggal 10 Juli 2019 lalu lembaga anti rasuah melakukan OTT terhadap salah 1 Pejabat provinsi di Sumatera, menetapkannya diduga sebagai PEMBERI Suap dan Gratifkasi, disangkakan karena melanggar Ps. 12 huruf a atau b atau Ps. 11 dan Ps. 12 huruf b UU 31/1999-UU 20/2001 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Ps. 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan si PEMBERI disangkakan karena melanggar Ps. 5 ayat (1) huruf a atau b UU 31/1999-UU 20/2001 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Ps. 55 ayat (1) ke-1 KUHP..
Praktik Suap menjadi salah satu fenomena menarik dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap pejabat publik terkait usaha reformasi aparatur negara. Praktik suap seolah sudah masuk semua lini, bukan hanya menimpa pejabat tinggi melainkan termasuk juga aparatur pemerintah di level bawah sekalipun ada kecenderungan/terindikasi akrab dengan praktik ini.
Suap mengandung banyak unsur kezaliman seperti ; mengambil hak orang lain, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan bisa mempengaruhi keputusan penguasa yang merugikan pihak lain. LALU, bagaimana jika seseorang sebenarnya tidak ingin memberi suap tetapi tetap dilakukan karena terpaksa? Dapatkah kemudian dalam pandangan ulama yang membolehkan memberi sesuatu kepada orang yang berkuasa dengan beberapa syarat?.
Salah seorang ustadz kondang pernah memberikan pandangannya dalam pengajiannya tentang praktik suap (Risywah) yang diperbolehkan dalam Islam. Menurutnya, praktik sogok atau suap diperbolehkan dalam Islam jika dan hanya jika seseorang tersebut telah memenuhi syarat tertentu, namun tetap ada pemaksaan (secara sistem atau oknum) untuk melakukan sogok. Ia mencontohkan, salah 1 nya terkait sistem rekrutmen PNS, di mana orang boleh saja menyogok kalau itu sebuah keharusan, yang penting orang tersebut memenuhi prasyarat sebagai PNS. Contoh lain disebutkannya, adalah ketika barang kita dicuri, lalu bila kita membayar kepada pencuri itu agar barang kita dapat kembali, maka hal itu diperbolehkan dalam Islam.
Dikutip dlm artikel media Republika.co.id (edisi 22 Apr 2016), disebutkan bahwa :
Pada dasarnya suap itu masuk dalam kategori Risywah. Praktik risywah jelas sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu." (QS an-Nisa' [4]:29).
MUI DKI Jakarta dalam salah satu poin fatwanya pada 25 April 2000 menyebutkan jika ada suap yang diperbolehkan. Klausul ini hanya diperuntukkan bagi yang memberi, bukan yang menerima :
Jika seseorang melakukan suap karena terpaksa untuk membela, mempertahankan, atau merebut hak, menurut MUI DKI Jakarta, hal itu diperbolehkan. Namun, bagi penerima, suap tersebut tetaplah haram. Bagi pemberi diperbolehkan karena jika tidak memberikan suap (risywah), dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu.
Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap. Berbagai cara sudah dilakukan agar suap tersebut tidak dilakukan. Sementara, kebutuhannya sangat mendesak. Maka bagi pemberi suap seperti ini tak masalah. Namun, bagi penerima, tetaplah ia masuk kategori risywah.
Ustaz Bachtiar, juga mengamini jika ada sedikit pengecualian bagi seseorang yang melakukan suap dengan jalan amat terpaksa. Menurutnya, jumhur ulama memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.
Sebagai umat Islam yang menjadikan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW sebagai pegangan hidup kita, tentunya kita selalu mengembalikan segala sesuatu kepada keduanya agar hidup kita selamat di dunia dan di akhirat. Bukan sebaliknya, mengacu pada pendapat orang bertentangan dengan keduanya. Selama pendapat para ulama itu ada dalilnya dan tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah, kita boleh mengikutinya, tapi sebaliknya, jika bertentangan, kita tidak boleh mengikutinya. Para ulama Islam juga selalu menegaskan bahwa umat Islam harus selalu berpegangan kepada Alquran dan Sunah. Sebagaimana Imam Syafii mengatakan, “Jika suatu hadis itu sahih, itulah mazhabku.”
Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang, pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Sementara, jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kedaruratan tersebut tidak berarti boleh terus-menerus dilakukan. Jika pekerjaan tersebut membuat terus-menerus harus menyogok, sifat keterpaksaannya menjadi hilang. Hukumnya pun menjadi hukum asal risywah baik pemberi maupun penerima mendapat dosa besar.
Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Nawawi dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin. Menurutnya, jika orang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realitas, memberi suap hukumnya haram. Sedangkan, suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan (Oleh Hafidz Muftisany).
Disamping pula dalam tataran kajian akademis, misalnya ulasan yang dikemukakan Evi Sukmayeti (dosen tetap STIA Mataram), menyatakan dalam artikelnya :
Konteks filsafati terhadap nilai berbicara tentang baik dan buruknya sesuatu dalam kehidupan manusia. Administrasi Publik sebagai praktek merupakan ilmu yang lahir dari ilmu filsafat. Oleh karenanya ilmu filasafat mewarnai konteks administrasi publik. Sebagaimana dikutip dari pandangan Thomas Aquinas yang mengutip pandangan Aristoteles menyebutkan, bahwaTuhan sebagai penyebab final (causa prima), Tuhan adalah sumber kebenaran utama. Oleh karenanya etika filsafati dibangun atas nilai-nilai agama.
Etika Administrasi Publik dengan demikian memiliki kontribusi yang berasal dari nilai-nilai agama.Sejumlah riset dan kajian akademis memaparkan mengenai fenomena suap secara terpisah menggunakan perspektif hukum normatif di satu sisi dan filsafat hukumIslam di sisi yang lain. Kajian akademis yang menggunakan perspektif hukum normatif menemukan bahwa suap mampu menekan keputusan pejabat publik. Bahkan suap bisa memanipulasi keputusan seseorang yang tidak memiliki kekuasaan sekalipun, namun memiliki sejumlah sumberdaya yang dibutuhkan oleh mereka yang memiliki kepentingan politik. Penelitian-penelitian ini lebih jauh menunjukkan sejumlah aturan mengenai suap. Sementara itu kajian filsafat Islam mengenai suap, mendiskusikan tentang sumber Al Qur’an dan Al Hadits yang membedakan antara hadiah dan suap.
Penelitian dan kajian akademik tersebut secara terpisah memperlihatkan perbedaan perspektif terhadap suap. Tetapi pandangan filsafat Islam menjelaskan secara komprehensif bahwa hadiah dan Risywah berbeda dikarenakan adanya konteks jabatan.
Jadi, pilihan politik hukum bagaimna kah yang harus kita ambil sebagai pedoman kedepannya dalam menghadapi fenomena praktik Suap?. Perlukah dilakukan upaya pmbaharuan terhadap sistem hkum pidana terhadap tindak pidana Suap?. Kiranya perlu ada pemikiran progresif yang BERANI mereformulasikan sebuah kebijakan dalam menjawab tantangan fenomena itu kedepannya, agar tujuan pembentukan hukum utk mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan dapat terpenuhi secara lebih optimal..
Wallahu a'lam bishawab..
Komentar
Posting Komentar